Rabu, 03 Oktober 2012

Autisme

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Selama tujuh tahun terakhir ini, Pemerintah Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam menstabilkan perekonomian, sosial, politik dan keamanan nasional yang ditandai dengan terjadinya krisi moneter 1998, bom Bali 1 dan 2, bom kedutaan Australia, bencana Tsunami dan Nias, flu burung, dan lain sebagainya.
Sebagai akibat dari ketidakstabilan politik dan ekonomi tersebut, perhatian pemerintah terhadap pendidikan untuk anak dengan kebutuhan khusus bukanlah menjadi prioritas utama, meskipun topik pemberitaan di media massa mengenai Autisme semakin sering muncul. Gencarnya pemberitaan di media ini disebabkan karena masyarakat, terutama keluarga dan pendidik dari anak-anak Autis merasa haus akan informasi. Baik mengenai bagaimana mengenali ciri-ciri Autis secara dini maupun mengenai penanganan dan pendidikan anak-anak ini selanjutnya.
Dari segi pendidikan sekolah, menurut data USAID, dana pendidikan untuk Indonesia diperkirakan mencapai 1%-2% dari GDP. Angka ini adalah angka terendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Walaupun Pemerintah baru-baru ini telah sepakat untuk meningkatkan dana pendidikan menjadi 20% dari anggaran, Indonesia selalu dihantui akan adanya ketidakpastian atas tercapainya target tersebut. Berdasarkan data USAID, disebutkan pula bahwa porsi terbesar untuk dana pendidikan adalah untuk gaji guru dan administrasi. Akibatnya, alokasi dana untuk pendidikan dan pelatihan guru serta peralatan pendidikan tidak mendapatkan porsi yang memadai.
Minimnya dukungan pemerintah untuk pendidikan khusus dan kurangnya pelatihan guru mengakibatkan rendahnya motivasi para guru untuk memberikan yang terbaik dalam mengajar anak-anak penyandang Autis di sisi lain, para guru yang bersemangat tulus ingin membantu anak-anak ini, tidak dapat membantu secara maksimal karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai.

B. Tujuan
Mengetahui dan memhami apa itu Autisme serta bidang-bidang yang menjadi gangguan bagi anak dengan Autisme.

C. Metode
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode kajian literatur, yaitu dengan cara mengutip dari data yang telah ada lalu merevisi kembali. 
BAB II
ISI
A. Pengertian Autisme
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 5 gangguan dalam bidang:
1. Interaksi sosial,
2. Komunikasi (bahasa dan bicara),
3. Pola bermain,
4. Gangguan sensorik dan motorik,
5. Perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun. Autisme dalam Diagnoctic and Statistical Manual of Mental merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
Autistic Disorder (Autism). Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
Asperger’s Syndrome. Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS). Merujuk pada istilah atypical autisma, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
Rett’s Syndrome. Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).
Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autiame lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak dengan autisme adalah gangguan yang dialami saat masa balita yang membuat dia tidak dapat bersosial dengan sebagaimana mestinya atau mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara normal, yang berakibat anak terisolasi dari manusia lain.
Anak dengan autisme mengalami gangguan dalam 6 bidang, yaitu interaksi sosial, komunikasi, pola bermain, gangguan sensorik dan motorik, terhambatnya perkembangan (abnormal).
B. Saran
Peningkatan penderita autisme semakin tahun semakin meningkat. Oleh karena itu kita dituntut agar lebih peka terhadap pengidap.

Dari Berbagai Sumber

Selasa, 25 September 2012

TEORI SEKS SIGMUND FREUD



      Dalam makalah ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai teori seks menurut Sigmund Freud. Sebelum melangkah lebih jauh mengenai materi ini kami ingin mencoba memberikan informasi mengenai Sigmund Freud. Siapakah Sigmund Freud ?. Sigmund Freud adalah seorang dokter yang masyhur pada masanya. Ia  lahir di Freinberg, Moravia, dan meninggal dunia di London Inggris (1856-1939).1 Usianya yang panjang membuat salah satu masa yang paling berdaya cipta dalam ilmu pengetahuan. Pemikiran-pemikiran atau jiwa intelektual Freud banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ternama, diantaranya yaitu Charles Darwin, Gustav fechner, Louis Pasteur, Robert Koch, dan Hermann Von Helmholtz.
      Meski awalnya banyak yang mengecam dia karena selalu membahas mengenai “dunia seksual”, namun terbukti hingga saaat ini, teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud masih banyak digunakan oleh para terapis, konselor dan oleh siapa pun yang bergerak dalam bidang konsultasi psikologi. Baik mengambil seluruh “doktrin” Freud mau pun “metode” yang digunakan.
      Dlam makalah ini kami akan membagi menjadi 3 tema yaitu, penyimpangan seksual, seksualitas masa kanak-kanak, dan transformasi pubertas. Untuk lebih jelasnya kami akan mulai memaparkan satu persatu tema-tema yang telah disebutkan di atas.
1. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN SEKSUAL
      Kebutuhan seksual pada manusia dan binatang sering kita asumsikan sebagai “insting seksual” yang disamakan dengan insting mencari makan dan juga rasa lapar. Insting tersebut dalam dunia sains disebut dengan “libido”.2
      Para ilmuan banyak memperkirakan bahwa insting tersebut belum tampak selama masa kanak-kanak dan baru muncul pada masa  seseorang mengalami pematangan diri, yaitu masa pubertas. Dan biasanya insting ini menampakkan diri melalui saling ketertarikan satu jenis kelamin dengan lawan jenisnya, yang menjadi tujuannya adalah proses penyatuan kelamin atau paling tidak tindakan-tindakan tertentu yang mengacu pada penyatuan tersebut.
      Namun pendapat-pendapat tersebut masih sulit diyakini kebenarannya karena banyak alasan yang menunjukkan bahwa pendapat tersebut masih membutuhkan penelitian yang lebih dalam agar kesimpulan yang dihasilkan lebih akurat.
      Kami akan memperlenalkan dua istilah berikut, objek seksual, yaitu pribadi yang menjadi sumber daya tarik seksual, dan tujuan seksual, yaitu tujuan yang hendak dicapai oleh insting seksual.
1.1  PENYIMPANGAN BERKAITAN OBJEK SEKSUAL
      Teori insting seksual memiliki kaitan yang sangat erat dengan kisah cinta antara pria dan wanita yang berjuang agar dapat bersatu. Oleh karena itu, akan terlihat aneh apabila terjadi ketertarikan seksual antara pria dengan pria bukan dengan wanita seperti pada umumnya, atau sebaliknya sejumlah wanita memiliki ketertarikan seksual dengan sesama wanita. Beberapa pribadi tersebut memiliki ciri-ciri seksual terbalik atau dalam istilah lain mereka disebut dengan pribadi invert (terbalik), dan hubungannya disebut dengan inversion (pembalikan).
A. Inversi
      Biasanya mereka yang berprilaku invert cenderung menunjukkan perilaku yang berbeda-beda seperti, beberapa diantaranya benar-benar terbalik (absolutely inverted); objek seksual mereka harus selalu berasal dari jenis kelamin yang sama. Bahkan bagi kelompok ini, lawan jenis cenderung diacuhkan karena dianggap tidak bisa menjadi objek seksual mereka bahkan mungkin mereka jijik dengan lawan jenisnya, kelompok yang terbalik dalam dua arah (amphigenously inverted); objek seksual mereka tertuju secara umum, baik sesame jenis maupun lawan jenis yang sering kita sebut dengan bisexsual, dan sisanya merupakan pribadi yang kadang-kadang menampakkan inversi (occasionally inverted). Dalam situasi tertentu kelompok ini mampu menganggap sesama jenisnya sebagai objek seksual yang dapat meraih kepuasan seksual bersamanya.
      Para invert menunjukkan perilaku yang berbeda-beda dalam menilai keganjilan insting seksual mereka. Sebagian menganggapnya wajar, dan sebagian lain menganggap dirinya abnormal dalam invert mereka. Karakteristik invert dapat dipertahankan seumur hidup dan dapat pula menyusut apabila pelaku invert telah mendapat pengalaman yang menyakitkan dengan objek seksual normal. Pada awlnya para dokter melihat kasus ini terjadi di antara penderita syaraf atau di antara mereka yang menunjukkan gejala penyakit tersebut.
      Objek seksual para invert adalah kebalikan dari individu yang normal. Sebagai contoh, seorang pria invert  cenderung merasa dirinya sebagai wanita dan mencari seorang pria, sehingga membuat mereka merasa jijik dengan lawan jenisnya.
      Sedangkan tujuan seksual invert tidak dapat diseragamkan antara satu dengan yang lainnya karena masing-masing pribadi memiliki tujuan dan kepuasan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka.
B. Ketidakmatangan seksual dan binatang sebagai objek seksual
      Para invert dimata peneliti masih dapat disebut sebagai individu yang normal dibandingkan dengan seseorang yang mengalami kelainan sporadic, yaitu seseorang yang memilih anak-anak sebagai objek seksualnya. Pada kasus ekstrem ini para penderita lebih berani mengeksploitasi dirinya kepada para objek seksual untuk melakukan variasi-variasi dalam melakukan hubungan seksual. Hal tersebut memperlihatkan bahwa insting seksual mereka tertarik terhadap anak-anak. Seperti halnya dengan kasus ketertarikan seksual terhadap anak-anak, pada kasus ketertarikan seksual terhadap binatang juga memiliki kesamaan.
1.2 PENYIMPANGAN BERKAITAN DENGAN TUJUAN SEKSUAL     
      Pertemuan (penyatuan) alat kelamin dalam aktivitas seksual dianggap sebagai tujuan sesksual. Aktivitas ini berguna untuk mengurangi ketegangan seksual dan memadamkan sensasi kepuasan batin (dapat disamakan seperti kepuasan mengatasi rasa lapar). Meski demikian, dalam perilaku seksual paling normal sekali pun, terdapat aspek-aspek tambahan yang dapat dibedakan. Perkembangan aspek-aspek tersebut mungkin akan memunculkan suatu kecenderungan penyimpangan seksual. Dengan demikian, sentuhan maupun kontak mata dengan objek seksual dapat disebut sebagai tindakan-tindakan pendahuluan sebelum mencapai tujuan seksual. Disatu sisi, tindakan tersebut seperti menyenangkan, dan disisi lain tindakan tersebut mampu meninggkatkan gairah yang akan tersu berlanjut hingga tercapainya tujuan seksual tertentu. Oleh karena itu, aspek-aspek tambahan ini, memberikan fakor-faktor yang memungkinkan kita untuk membawa penyimpangan tersebut dalam kehidupan seksual normal, dan dapat digunakan juga sebagai pedoman klasifikasi.  
2. SEKSUALITAS MASA KANAK-KANAK
      Sebagian kepercayaan populer meyakini bahwa insting seksual tidak dijumpai pada masa kanak-kanak dan baru akan muncul pertama kalinya pada masa pubertas. Kepercayaan ini merupakan sebuah kekeliruan tapi memiliki konsekuensi yang sangat serius, terutama karena ketidaktahuan. Kurangnya kajian yang mendalam mengenai prinsip-prinsip fundamental kehidupan seksual juga menjadi dalah satu factor ketidaktahuan itu.
      Banyak para penulis yang mencoba menjelaskan sifat-sifat dan reaksi individu dewasa justru memberikan perhatian yang lebih besar pada periode masa lalu, dengan kata lain mereka lebih banyak mengembalikan hal tersebut pada pengaruh factor bawaan daripada factor masa kanak-kanak. Sebagian alasan pengabaian ini adalah latar belakang penddikan para penulis sendiri.
      Dalam seksualitas anak-anak terdapat sebuah periode yang disebut dengan latensi (keadaan sukar menghilangkan kebiasann). Sepanjang periode ini kekuatan psikis si anak berkembang yang kemudian berfungsi sebagai hambatan dalam kehidupan seksual. Beberapa contoh kasusnya antara lain, rasa jijiki, rasa malau, serta tuntunan-tuntunan moral dan cita-cita yang indah. Mugkin kita akan menerima kesan bahwa hal tersebut merupakan hasil pendidikan. Tetapi perkembangan ini sebenarnya ditentukan secara organis, dan dalam beberapa kasus kadang kala tanpa pengaruh pendidikan.
      Tentunya dalam periode ini pun tak luput dari gangguan-gangguan yaitu, pada para  pendidik. Selama perhatian para pendidik teraah pada seksualitas infatil (orang dewasa yang bersifat kanak-kanak), mereka akan bersikap seolah telah memberi kita pandangan bahwa proses  tersebut harus mengorbankan factor seksualitas.
      Beberapa pembuktian seksualitas pada anak-anak adalah, menghisap ibu jari, aktivitas menghisap ibu jari yang muncul pada masa menyusu dan mungkin berlanjut hingga usia dewasa, atau bahkan seumur hidup, terdiri dari suatu gerakan menghisap yang berulang-ulang dan ritmis melalui kontak mulut (bibir), yang tujuannnya bukan menyusu.3 Bagian dari mulut itu sendiri, yakni lidah merupakan daerah kulit yang disukai, atau bahkan ujung jempol dapat dianggap sebagai objek penghisapan. Barsamaan dengan hal ini, muncul pula hasrat untuk menggenggam benda-benda yang tampak seperti menarik cuping telinga dengan ritmis dan mungkin saja menyebabkan si bayi merenggut bagian tubuh yang lain untuk maksud yang sama. Kenikmatan menghisap seringkali digabung dengan gerak menggosok beberapa bagian tubuh sensitive, seperti dada dan organ-organ kelainan eksternal. Dengan cara seperti inilah banyak anak-anak beralih dari sekedar menghisap ibu jari menjadi suatu tindakan masturbasi.
      Kemudian pembuktian yang lainnya adalah Autoereotisme. Menurut Havelock Ellis bahwa anak adalah sosok autoerotic,4 selain aktivitas menghisap ibu jari pada sama anak-anak dikendalikan oleh kenyataan bahwa ia mencari suatu bentuk kenikmatan yang pernah dialami dan kini diingatnya. Melalui gerakan menghisap yang ritmis atas bagian kulit tertentu atau selaput lendir, ia mencapai kepuasan dengan cara yang paling mudah, yaitu aktivitas pertama dan terpenting dalam kehidupan anak-anak adalah menghisap payudara ibunya. Dapat kita katakan bahwa bibir si anak berfungsi sebagai zona rangsangan, dan bahwa stimulus dari pancaran air susu yang hangat, sebenarnya merupakan factor penyebab sensasi menyenangkan tersebut. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kepuasan  pada zona rangsangan, pada awalnya berkaitan dengan kepuasan akan kebutuhan terhadap air susu ibu. Tetapi tidak semua anak menghisap ibu jari mereka. Boleh dikata, hal ini hanya ditemukan pada anak-anak dengan signifikasi rangsangan bagian mulutnya mendapat penguatan secara konstitusional. Jika hal terakhir ini tetap dipelihara dalam diri beberapa anak maka keraka akan tumbuh menjadi penggemar ciuman dengan kecenderungan menyimpang, atau jika mereka pria, mereka akan menunjukkan hasrat kuat untuk minum dam merokok. Namun, saat tindakan represif turut ambil bagian, mereka kemudian akan menunjukkan rasa muak untuk makan dan gejala muntah-muntah histeris. Karena sama-sama daerah mulut, represif akan mengganggu insting untuk makan. Dalam fenomena menghisap ibu jari atau kenikmatan menghisap, kita dapat melihat tiga karakter esensial dari manifestasi seksual yang kekanak-kanakan. Semuanya berasal dari suatu relasi anaklitik 5 dengan suatu fungsi fisik yang sangat penting bagi kehidupan. Anak belum mengenal objek seksual apapun, dengan kata lain bersifat autoeritik, dan tujuan seksualnya berada du bawah kendali suatu zona rangsangan tertentu.
      Dari contoh perilaku menghisap di atas, kita dapat mengambil banyak hal yang bermanfaat dalam membedakan zona rangsangan. Suatu bagian tertentu dari kulit atau selaput lendir, bila dirangsang akan menimbulkan suatu perasaan nikmat dalam bentuk yang nyata.  Kita tidak dapat mengetahui rangsangan yang menghasilkan kenikmatan tersebut dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu. Oleh karena itu kita dituntut berhati-hati dalam memberikan asumsi. Dan yang menjadi tujuannya yaitu mencari bagian tubuh mana yang memiliki kenikmatan yang sama dengan saat menghisap ibu jari, yang kemudian dijadikan sebagai zona rangsangan.
2.1 INVESTIGASI SEKSUAL PADA MASA KANAK-KANAK
      Kurang lebih pada periode anak mencapai umur 3 – 5 tahun akan muncul babak awal dari suatu aktivitas yang dianggap berasal dari dorongan hati memperoleh pengetahuan dan menyelidiki segala sesuatu. Aktivitas ingin tahu terkait dengan suatu bentuk kemahiran yang mengalami sublimasi6, smementara pada sisi lain, aktivitas tersebut terkait drngan energy yang bekerja melalui dorongan hati untuk memamerkan atau melihat. Dalam kaitannya dengan kehidupan seksual, bagaimanapun juga hal ini memiliki arti penting khusus, mengingat kita telah belajar dari psikoanalisis, bahwa rasa ingin tahu diarahkan terlalu dini pada permasalahan seksual, serta dalam cara-cara yang tidak terduga. Diduga rasa ingin tahu, pertama kali dibangkitkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual.   
      Bila anak-anak dalam usia dini melihat tindakan seksual orang dewasa, dimana kejadian tersebut oleh orang dewasa dianggap bahwa anak-anak tidak akan dapat memahami apa pun yang berbau seksual, mereka pasti akan membayangkan tindakan seksual sebagai suatu bentuk penganiayaan atau tindakan menggagahi. Dengan kata lain, hal tersebut melahirkan kesan dalam diri mereka dalam suatu pengertian yang sangat sadis. Psikoanalisis juga mengungkapkan, bahwa kesan pada periode awal masa kanak-kanak seperti ini menyumbang banyak kecenderungan pemindahan sadistic atas tujuan seksual dalam periode kehidupan selanjutnya. Di samping itu, anak-anak juga akan mulai berpikir tentang apakah yang dapat disebut sebagai tindakan seksual, atau sejauh pemahaman mereka, apakah yang dimaksud dengan perkawinan, dan biasanya mencari jawaban atas misteri ini pada intimasi yang terjalin melaui fungsi pembuangan air besar dan air seni.
      Tentunya didalam investigasi seksual anak-anak tidak luput pula dari kekeliruan. Penganalogian yang kurang tepat pada anak-anak menimbulkan kebingungan dan penolakan yang dilakukan oleh pikiran mereka. Dan pada akhirnya tetap saja akan sia-sia yang tidak jarang menimbulkan trauma berkepanjangan pada hasrat mereka untuk mencari pengetahuan. Investigasi pada masa awal anak-anak ini selalu dilakukan sendiri, hal ini dapat menimbulkan kerenggangan antara si anak denga orang-orang disekitarnya yang semula mereka percaya.
2.2  FASE-FASE PERKEMBANGAN ORGANISASI SEKSUAL
A. Organisasi pragenital
      Dengan bantuan psikoanalisis, kajian seputar hambatan dan gangguan proses perkembangan memungkinkan kita untuk memahami tingkatan-tingkatan primer maupun tambahan dari organisasi impuls parsial. Fase fase seksual ini akan dilewati dengan lancar, dan hanya dapat dikenali melalui sugesti. Hanya dalam kasus-kasus tertentu saja fase-fase tersebut benar-benar aktif dan dapat dikenali dalam observasi.7
        Salah satu organisasi seksual pragenital yang pertama adalah oral, atau bisa juga disebut dengan fase kanibalistik.8 pada tahap ini, aktivitas seksual belum terpisah dari aktivitas menyusu dan perbedaan di antara keduanya belum tampak. Objek satu aktivitas juga merupakan objek aktivitas lain sehingga tujuan seksual terkandung dalam peleburan objek ke dalam tubuh si anak itu sendiri. Bekas-bekas dari fase organisasi yang didorong oleh patologi ini dapat kita sebut, misalnya, dalam aktivitas menghisap ibu jari. Dalam aktivitas ini, aktivitas seksual telah dipisahkan dari aktivitas mencari makan dan objek asing akan disisihkan oleh objek lain yang bersal dari tubuh si anak itu sendiri.9
        Fase pragenital kedua adalah organisasi anal-sadistik. Disini, perbedaan yang akan tetap ada sepanjang kehidupan seksual telah tersusun, namun belum dapat dipisahkan menjadi maskulin dan feminine, melainkan harus disebut sengan aktif dan pasif. Aktivitas ini didorong oleh system otot tubuh melalui impuls penguasaan selaput lender daerah rangsangan perut atau usus besar tampil sebagai suatu organ yang memiliki tujuan seksual pasif, keduanya bekerja saat terdapat objek yang tidak bergabung menjadi satu.
B. Ambivalensi
      Bentuk organisasi seksual ini telah mampu mempertahankan dirinya di sepanjang periode kehidupan dan menyebabkan timbulnya banyak aktivitas seksual. Salah satu karakteristiknya adalah fakta bahwa pasangan impuls yang saling bertentangan ini dibangun dalam cara yang hampir sama, suatu situasi yang digambarkan Bleuler dengan istilah ambivalensi.
       Untuk melengkapi gambaran tentang kehidupan seksual masa kanak-kanak, harus ditambahkan bahwa sangat sering suatu pemilihan objek terjadi bahkan pada masa kanak-kanak dan sama persis dengan pemilihan objek ini yang terjadi pada masa puber. Pemilihan objek ini terjadi sedemikian rupa, di mana segala upaya seksual berjalan mengarah pada seorang individu yang menjadi haapan anak-anak dalam mencapai tujuan mereka. Dengan demikian, hal ini merupakan pendekatan yang apling sesuai bagi formasi definitive kehidupan seksual setelah masa puber, yang mungkin terjadi di masa kanak-kanak. Hal yang membedakanya dengan pubertas adalah fakta bahwa kumpulan impuls-impuls parsialdan subordinasinya terhadap keutamaan organ genital yang sangat tidak sempurna atau belum sepenuhnya sempurna. Tercapainya keistimewaan berupa fungsi reproduksi ini menjadi fase terakhir yang akan dilewati proses perkembangan seksual.10
2.3  SUMBER-SUMBER SEKSUALITAS MASA KANAK-KANAK
A.    Rangsangan mekanis
      Terdapat dua jenis pengaruh rangsangan yaitu, yang emepengaruhi kulit dan yang mempengaruhi bagian-bagian dalam, seperti otot dan persendian. Rangsangan seksual yang dihasilkan pengaruh-pengaruh ini tampak memang bersifat memberikan kenikmatan. Kenyataan mengenai kenikmatan semacam ini dihasilkan melalui perangsangan mtelah terbukti lewat kesukaan anak-anak memainkan sesuatu hal yang melibatkan gerakan-gerakan pasif, seperti diayun atu diterbangkan di udara, sehingga mereka selalu menuntut agar permainan tersebut diulang-ulang. Dan kita pun mengetahui bahwa ayunan bayi sangat sering digunakan untuk menidurkan anak yang gelisah. Sensasi-sensasi goyangan, sebagaimana dialami saat berada di atas kereta api membangkitkan suatu rasa kagum dikalangan anak-anak yang lebih tua sehingga semua anak laki-laki pernah berkeinginan untuk menjadi kondektur arau sopir. Mereka terbiasa menjadikan aktivitas kereta api dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya sebagai minat yang luar biasa, dan selama masa periode aktivitas fantasi (sesaat sebelum pubertas) mereka memanfaatkannya sebagai dasar symbol seksual. Keinginan untuk mengaitkan perjalanan menggunakan kereta dengan seksualitas tampaknya berasal dari sifat menyenangkan yang terdapat dalam sensasi gerakan. Ketika kemudian penekanan muncul dan mengubah banyak hal yang disukai, hasrat kanak-kanak ini berbalik. Orang-orang ini, setelah tumbuh menjadi remaja dan dewas, memberikan reaksi terhadap terhadap ayunan dan goyangan dengan penuh kemuakan, perjalanan menggunakan kereta api juga akan membuat mereka sangat letih. Atau mereka akan menunjukkan kecenderungan munculnya serangan kecemasa selama dalam perjalanan, dank arena dihantui oleh pobia kereta api ini, mereka sangat berhati-hati untuk tidak mengulang pengalaman tersebut.
      Hal ini juga sesuai dengan fakta yang belum terpahaimi, bahwa timbulnya rasa takut melalui getaran mekanis, akan menghasilkan bentuk hysteria paling parah. Dengan demikian, setidaknya dapat diasumsikan bahwa kereta sekecil apa pun intensitas pengaruh ini yang kemudian menjadi sumber  rangsangan seksual, reaksi berlebihan yang muncul akan menghasilkan gangguan mekanisme seksual yang berat
B.        Aktifitas otot
      Kita telah mengetahui, anak-anak memiliki kebutuhan untuk banyak melakukan aktivitas otot, karena kepuasan yang diperoleh dari hal ini akan mendatangkan kesenangan yang amat besar. Baik karena kesenangan tersebut mampu menimbulkan kepuasan seksual, atau karena ia mungkin memunculkan rangsangan seksual.
      Hasrat untuk melakukan adu otot dengan orang tertentu, seperti halnya hasrat untuk adu mulut (adu bicara) pada tahun-tahun periode berikutnya, merupakan suatu pertanda baik bahwa orang tersebuttelah terpilih sebagai objek cinta. Dalam perkembangan kenikmatan seksual melalui aktivitas otot ini, kita dapat mengenali salah satu sumber impuls sadistic. Hubungan infatil antara perkelahian dan perangsangan seksual terjadi pada banyak orang sebagai suatu penentu bagi arah yang diinginkan impuls seksual mereka pada masa mendatang. Sebagai kesimpulan, bila kita kini meninjau ulang bukti-bukti dan indikasi sumber-sumber rangsangan seksual infantil yang telah dibahas sebelumnya, kita dapat menegakkan satu kaidah umum sebagai berikut. Rangsangan seksual yang sifat dasarnya masih misterius harus dibangkitkan melalui gerakan, dan ini telah terbukti melalui beberapa cara. Factor yang menjadi persyaratannya adalah perangsangan pada daerah permukaan kulit dan organ-organ sensoris, sementara pengaruh rangsangan yang paling cepat dirasakan adalah rangsangan yang diberikan pada bagian-bagian tertentu yang disecut sebagai zona rangsangan.
3. TRANSFORMASI PUBERTAS
      Dengan dimulainya masa pubertas, mulai tampak pula berbagai perubahan yang mengubah kehidupan seksual kanak-kanak kedalam bentuknya yang normal dan pasti. Insting seksual yang tadinya bersifat autoerotic,kini menemukan objek seksualnya. Selama ini ia tampil dalam bentuk impuls tunggal dan dalam zona rangsangan ia mencari suatu kesenangan tertentu sebagai tujuan seksual tunggal. Kini tujuan seksual baru ditujukan pada proses produksi, dimana seluruh impuls parsial akan bekerjasama, sementara zona rangsangan akan mensubordinasikan diri karena keutamaan organ-organ genital.11 Karena tujuan seksual baru ini memberikan fungsi yang sangat berbeda bagi kedua jenis kelamin, perkembangan seksual mereka kini juga tampak berbeda. Perkembangan seksual pria lebih konsosten dan lebih mudah dipahami, sementara pada wanita, perkembangan tersebut menampakkan adanya sedikit kemunduran. Kehidupan seksual  yang normal dijamin oleh kesesuaian dua aliran yang mengarah pada objek seksual dan tujuan seksual.
      Tujuan seksual baru pada pria adalah pelepasan produk-produk seksual. Hal ini tidak berlawanan dengan tujuan seksual sebelumnya, yaitu pencapaian kesenangan atau kenikmatan, sebaliknya puncak dari segala kesenangan dalam proses seksual dihubungkan dengan babak akhir ini. Insting seksual kini berada pada pemenuhan fungsi perkembangbiakan.
      Seperti pada peristiwa lain dimana persatuan dan susunan baru mulai terbentuk dalam mekanisme yang rumit, di sini juga terdapat kemungkinan munculnya gangguan bersifat abnormal (abnormalis), jika tatanan baru ini tidak segera tersusun rapih. Seluruh bentuk gangguan pada kehidupan seksual ini dapat disebut sebagai hambatan perkembangan
3.1 KEUTAMAAN DAERAH GENITAL DAN KESENANGAN PENDAHULU
      Dari proses perkembangan yang telah digambarkan di atas, dengan jelas kita lihat permasalahan serta tujuan akhir yang hendak dicapai. Proses paling mencolok dari masa pubertas ini telah dipilih sebagai karakternya yang paling khas, yaitu perkembangan organ kelamin eksternal yang menunjukkan sauatu hambatan terhadap proses pertumbuhan selama periode latensi pada masa kanak-kanak. Secara bersamaan, organ kelamin internal rumbuh sedemikian rupa hingga mampu menerima produk-produk seksual tersebut untuk tujuan pembentukan makhluk hidup baru. Dengan demikian. Suatu perangkat rumit telah terbentuk dan akan banyak dimanfaatkan pada masa akan datang.
      Perangkat ini dapat digerakkan melalui rangsangan, pengaruh rangsangan tersebut berlangsung melalui tiga jalan yaitu, pertama dari bagian luar (zona rangsangan), kedua dari bagian organis dalam tubuh, dan terakhir melalui wilayah psikis yang tidak lebih melambangkan suatu tempat penyimpanan kesan-kesan eksternal dan wadah bagi rangsangan-rangsangan internal.
      Karakter ketegangan rangsangan seksual berkaitan erat dengan suatu persoalan, yang pemecahannya sangat sulit sekaligus penting bagi konsepsi proses seksual. Perasaan tegang tersebut pasti membawa suatu perasaan tidak nyaman dan perasaan tersebut juga membawa impuls untuk mengubah situasi psikis, lemudian mendorong sesuatu yang sangat bertentangan dengan kenikmatan yang diterima. Namun, bila kita menganggap ketegangan prangsangan seksual ini bersumber dari perasaan tidak nyaman, kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa sensasi kenikmataanlah yang justru diterima. Ketegangan yang dihasilkan rangsangan seksual selalu diiringi dengan kenikmatan, bahkan saat terjadinya perubahan-perubahan pada alat kelamin selama tahap persiapan terdapat suatu perasaan nikmat yang nyata.
3.2 KEGAIRAHAN SEKSUAL
      Dari mana datangnya ketegangan seksual yang muncul bersamaan dengan kepuasan zona rangsangan, serta apa yang menjadi sifat dasar ketegangan tersebut masih belumdapat dijelaskan. Anggapan yang ada, bahwa ketegangan ini berasal dari kenikmatan tu sendiri, tidak saja mustahiltetapi juga tidak dapat dipertahankan, karena selama  berlangsungnya kenikmatan terbesar yang berkaitan dengan pengosongan zat-zat seksual, tidak terjadi produksi ketegangan melainkan pelepasan ketegangan. Dengan demikian, kenikmatan dan ketegangan seksual hanya dapat dihubungkan secara tidak langsung.
      Disamping fakta bahwa pelepasan zat-zat seksual saja yang mampu mengakhiri gairah seksual normal, terdapat fakta-fakta esensial lain yang menghubungkan ketegangan seksual dengan produk-produk seksual. Dalam keadaan terkengan, perangkat seksual biasanya akan mengosongkan produk-produknya dimalam hari melalui halusinasi mimpi nikmat berupa mimpi basah, pelepasan ini muncul secara terpencar, tetapi tidak spenuhnya dalam periode yang tidak beraturan. Ketegangan seksual yang memunculkan suatu bentuk pengganti bagi tindakan seksual melalui semacam ilusi adalah disebabkan oleh akumulasi air mani dalam tempat penyimpanannya yang dipersiapkan bagi produk-produk seksual. Berbagai pengalaman tentang mekanisme seksual yang tidak ada habisnya ini menunjukkan hal yang sama. Ketika tidak terdapat cadangan air mani, tidak saja mustahil untuk melakukan kegiatan seksual namun zona rangsangan pun akan sulit dirangsang, sehingga proses perangsangannya tidak akan membangkitkan kenikmatan apap pun. Dengan demikian, secara kebetulan kita menemukan bahwa ketegangan seksula dalam kadar tertentu sangat diperlukan untuk proses perangsangan zona rangsangan.
      Dalam konsep libido telah ditetapkan bahwa konsep libido sebagai bentuk kekuatan kuantitas tidak tetap yang dapat digunakan untuk menilai proses serta transformasi yang terjadi di seputar perangsangan seksual.
      Namun ego-libido ini hanya dapat diterima dengan baik dalam kajian psikoanalisa bila energy psikisnya ditetapkan pada objek seksual yaitu bila objek seksual tersebut berubah menjadi objek-;ibido. Hingga kemudian kita dapat melihatnya, saat ego-libido menghimpun dan mengatur posisinya terhadap objek atau ketika meninggalkan objek-objek tersebut dan memberikannya kepada yang lain.
      Telah kita ketahui, perbadaan menyolok antara karakter atu sifat pria dan wanita akan terbentuk pada masa puber, suatu perbedaan yang secara tegas mempengaruhi perkembangan diri manusia. Memang, kecenderungan watak pria dan wanita telah bisa dikenali dengan sangat jelas di usia kanak-kanak. Sehingga, perkembangan factor-faktor hambatan seksual (rasa malu, jijik, simpati, dan sebagainya) berlangsung lebih awal dan dengan kadar ketahanan yang lebih kecil pada anak perempuan disbanding pada anak laki-laki. Di sini, kecenderungan represi seksual jelas tampak lebih besar, dan di mana impuls parsial seksualitas terlihat muncul.
      Zona rangsangan utama pada diri anak perempuan adalah klitoris, yang dapat disamakan dengan penis pada anak laki-laki. Hal ini sering ditemukan dalam tindakan masturbasi pada anak perempuan yang selalu mengacu pada klitoris, dan bukan pada organ kelamin seksternal lain yang juga sangat penting bagi fungsi-fungsi seksual di kemudian hari.
      Demikian yang bisa kami jelaskan mengenai teori seksual menurut Sigmund Freud. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna karena kesempuraan hanyalah milik Allah swt, namun kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, daan semoga dengan dibuatnya makalah ini pengetahuan kita akan bertambah.
     
Catatan :
1 Richard Osborne, Freud Untuk Pemula; hal 4
2 Maurice Mechan, Psycho sexuality; hal 56
3 Havelock Ellis, The Sexual Impuls; hal 6
4 Havelock Ellis, The Sexual Impuls; hal 10
5 Havelock Ellis, The Sexual Impuls; hal 21
6 Sigmund Freud,Sexual Theory; hal 56
7 Calvin S. Hall,Libido Kekuasaan; hal 45
8 Sigmund Freud, Sexual Theory; hal 73
9 Sigmund Freud, Sexual Theory; hal 45
10 Sadger, Teori Seksual Sigmund Freud; hal 157
11 Jellife, Monograph Series; hal 16
12 Peny, psikoanalisis; hal 176